Senin, 21 April 2008

Di akhirat kita bisa punya istana

Mestinya suasana duka masih terasa bagi keluarga yang ditinggalkan, sebab ini baru hari kedua pasca wafatnya Daeng Tarring. Tapi kenormalan itu kelihatannya tidak berlaku. Begitu yang tampak jelas dari balik jendelaku hari ini. Dan itu tergambar jelas di wajah Baso, anak Daeng Tarring satu-satunya, sekaligus menjadi anggota keluarga satu-satunya yang ditinggalkan.

Baso, remaja 15 tahun. Kalau remaja sebaya sedang bersiap-siap menghadapi ujian akhir SMP, siap-siapnya Baso sangat berbeda. Rutinitasnya sudah dijalani hampir separuh umurnya. Hanya saja, dulu ketika Daeng Tarring, bapaknya, masih hidup, Baso sekedar pengikut. Di hari kedua pasca berpulangnya Daeng Tarring, Baso adalah ‘penguasa penuh’.

Begitulah. Daeng Tarring dikenal sebagai montir sepeda paling konsisten di kampung kami. Dibilang konsisten karena Daeng Tarring seakan ‘terlahir’ untuk jadi montir sepeda. Dari dulu – entah kapan, mungkin sejak aku sendiri belum lahir – sampai akhir hayatnya, Daeng Tarring adalah montir sepeda. Mungkin dia bangga dengan profesi itu, mengingat lamanya profesi itu sudah dijalankannya. Atau mungkin ia kecewa, mengingat tak ada lagi orang lain yang menganggap itu profesi ‘istimewa’ dan ‘terhormat’. Sulit untuk mencari tahu bagaimana persis perasaannya sebab Daeng Tarring dalam kesehariannya konsisten. Profesinya ditekuni dengan sabar. Raut mukanya pun konsisten dengan tingkat keseriusan yang terkontrol.

Baso adalah penerus Daeng Tarring satu-satunya. Baso kecil tertakdir kehilangan ibunya di usia setahun yang meninggal akibat demam berdarah. Selain istri dan anaknya, tidak ada yang tahu apakah Daeng Tarring punya kerabat lain.

Keluarga Daeng Tarring memang tinggal di sebuah gubuk sempit ukuran 2 x 3 meter. Tepatnya, keluarga mereka tinggal di lorong antara dua ruko tinggi berlantai 4. Dulu, kata orang-orang tua, Daeng Tarring hidup beratapkan dan berdindingkan kardus bekas. Kardusnya dikokohkan oleh potongan-potongan bambu yang diatur sedemikian rupa menjadi gubuk. Gubuk Daeng Tarring ‘direnovasi’ ketika di kampung mulai banyak proyek pembangunan, Daeng Tarring dan istri memunguti papan, balok, dan seng bekas bongkaran. Setelah itu, barulah keluarga Daeng Tarring bisa merasakan bagaimana tinggal di ‘rumah’ yang 'sesungguhnya'.

-----

Dari balik jendelaku, aku bisa melihat Baso memulai aktifitasnya hari ini. Persis seperti almarhum Daeng Tarring, Baso juga memulai aktifitasnya ba’da shalat shubuh di mesjid. Saking persisnya, aku seakan melihat sosok Daeng Tarring masih hidup dan beraktifitas rutin.

Seperti yang kuceritakan di awal, mestinya Baso masih terlihat bersedih, apalagi ini masih hari kedua pasca wafat bapaknya. Tapi raut muka Baso sungguh berbeda. Ia kelihatan tenang. Tidak ada raut kesedihan di wajahnya. Bagi kebanyakan orang, bisa saja berprasangka “dasar anak tidak tau diuntung, bapaknya meninggal kok tidak sedih-sedih?”

“Baso, kamu tidak sedih ditinggal bapak kamu?” tanyaku terus terang untuk mengobati rasa ingin tahuku.

“Ya sedih, Om. Tapi lebih banyak senangnya…!”

“Lho, kok?”

“Baso lebih banyak senangnya karena Baso tahu, sebelum meninggal, bapak masih sempat menunaikan cita-cita tertingginya yang sudah lama beliau impikan.”

“Masak, sih?” Cita-cita apa gerangan? Setauku, cita-cita tertinggi kebanyakan orang Islam terutama dari golongan ekonomi bawah dan menengah adalah naik haji. Tapi aku tahu persis Daeng Tarring tidak sempat naik haji sebelum wafatnya. Semua orang juga tahu kalau Daeng Tarring terlalu miskin untuk membiayai ongkos naik haji. Kalau begitu, apa gerangan?

-----

Baso mulai bercerita.

“Bapak itu orangnya disiplin. Beliau meski tidak pernah sekolah mendapatkan banyak pendidikan dari guru mengaji beliau ketika masih kecil. Oleh guru mengajinya, beliau diajarkan bagaimana dalam hidup harus senantiasa memelihara nilai-nilai Islam, dan juga harus punya impian atau cita-cita. Rupa-rupanya ajaran guru mengajinya ini dipegang kukuh oleh bapak.”

“Ketika masih kecil, aku biasa bertanya ke bapak, kenapa kami tinggal di rumah kecil seperti ini. Bapak dengan sabar menjelaskan bahwa dulu rumah kami bahkan lebih kecil dan terbuat dari kardus. Kata bapak, kalau ada angin kencang apalagi hujan, rumah kami bisa langsung ‘hilang’ dan bapak harus ‘mencari’ rumah baru lagi. Baso diajar bapak bahwa Baso mesti mensyukuri rumah kami saat ini. Apalagi, kata bapak, rumah itu jangan liat besarnya atau mewahnya, yang penting, kita yang tinggal di dalamnya bahagia.”

“Tapi bapak ternyata tetap punya impian. Bapak selalu bicara bahwa suatu saat, saya dan bapak, harus memiliki istana. Bapak juga bilang bahwa saya harus senantiasa ingat almarhumah ibu kalau membangun istana kami.”

“Ketika masih kecil bahkan sampai setahun lalu, saya masih selalu menganggap bapak mengada-ada. Saya pikir beliau berusaha menghiburku. Mana mungkin kami bisa tinggal di istana. Gubuk yang sekarang saja atap sengnya sudah bocor-bocor tidak pernah diganti. Boro-boro mau punya istana?!”

“Seminggu lalu, ketika bapak sudah mulai sakit sebelum wafatnya, beliau sambil berbaring di dipan bale-bale kami, mengeluarkan 3 amplop dari laci meja kami. Setau saya, bapak biasanya menyimpan barang-barang yang dianggap ‘penting’ di laci itu karena itu satu-satunya laci yang ada dirumah dan juga bisa dikunci. Amplop itu tertutup rapih.”

“Kemudian bapak bilang begini: Nak, ini ada 3 amplop. Isinya uang dan masing-masing sama banyaknya. Bapak minta tolong, besok kalau kamu pergi shalat Jumat, pastikan kamu masuk mesjid paling pertama. Supaya kamu bisa dapat pahala onta….terus kamu juga harus masukkan amplop ini ke dalam celengan mesjid. Jangan sampai kamu dilihat orang lain. Bapak takut, kalau kamu dilihat orang lain dan ketahuan kalo kamu masukin amplop untuk sumbangan pembangunan mesjid, mereka akan mengembalikan amplop kita karena mereka bilang kita orang miskin tidak usah menyumbang dulu….Nak, kalo kamu masukkan amplop ini, pastikan kamu baca basmalah. Jangan lupa niatkan dalam hati bahwa satu amplop itu adalah sumbangan dari bapak, satu amplop dari kamu, dan satunya lagi dari ibumu…Jangan sampai gagal, nak. Itu ongkos pembangunan istana kita. Di dunia memang kita hanya bisa tinggal di gubuk bocor begini, tapi Isnya Allah kalau sumbangan ini berhasil, di akhirat kita bisa punya istana.”

“Muka bapak saya sangat berbeda waktu tahu saya sudah masukkan amplop itu ke dalam celengan mesjid tanpa ketahuan. Dua hari setelahnya bapak wafat. Wajahnya memang terlihat sakit. Tapi bagian mata dan bibirnya, bapak seperti tersenyum. Mungkin beliau tersenyum karena cita-cita beliau kesampaian. Wallahu a’lam, semoga bapak dan ibu sekarang sudah dapat istana. Insya Allah. Makanya Baso memang sedih, tapi kalau ingat kejadian itu, Baso lebih banyak senangnya. Apalagi, sebelum wafat, bapak juga bilang ke Baso untuk punya impian lebih bagus lagi!”

-----

Masya Allah. Tiba-tiba dadaku sesak mendengar cerita Baso. Tiba-tiba saja 'kesombongan'ku hilang. Tiba-tiba saja aku sadar bahwa Daeng Tarring yang selama ini terabaikan banyak orang adalah seorang pejuang ulung. Tiba-tiba saja aku mengerti bahwa sosok yang sering aku amati dari balik jendelaku ternyata selama ini sedang melakonkan drama kehidupan paling spektakuler yang pernah kulihat.

Sabtu, 29 Maret 2008

Aku juga ingin jadi pemabok!

Jelas sekali dari balik jendela ini sosok orang itu. Dia pemabok! Tidak banyak yang tahu itu. Aku saja baru tahu dari Ustadz Amri. Ustadz ini membisikkan di telingaku tentang sosok orang itu, “Tuh liat si pemabok.”

Sejak itu aku pasti curi-curi pandang dari balik jendela ini setiap sosok itu melintas. Pernah kudapati ia melintas di tengah gelap larut malam. Kebetulan aku terbangun dan mendengar gesekan langkah-langkah seseorang. Diam-diam kuintip, ternyata sosok orang itu. Hmm, dasar pemabok, pikirku.

Tapi terus terang aku penasaran. Sebagai seorang pemabok, sosok orang ini pendiam. Pemabok lain kalau melintas, jangankan tengah malam, masih sore juga sudah ribut minta ampun. Sosok orang ini juga sopan. Keliwat sopan malah. Beda sekali dengan pemabok profesional, jangan harap tahu sopan santun. Kerjanya mengajak berantam orang sekampung. Pernah, saking jengkelnya, beberapa anak muda meladeni berantam seorang pemabok profesional. Orang itu ditelanjangi sampai tinggal celana kolor dan disuruh nyemplung ke got besar. Biar dia sadar, kata anak-anak muda itu.

-----

Tadi siang ketika ke mesjid untuk shalat Jumat, aku buru-buru berharap dapat onta. Ternyata aku keduluan. Sosok orang itu sudah duluan. Ia sudah duduk di shaf paling depan terlihat khusyuk membaca lembaran Al Quran. Jujur saja, rasa ingin tahuku tentang sosok orang itu semakin tinggi. Bahkan sudah di puncak. Aku mulai menerka-nerka, mungkin sosok orang itu dalam proses pertobatan. Selain mabok, dosa apa lagi gerangan yang sudah diperbuat sosok itu?

-----

Sepulang shalat Jumat, dari balik jendela ini aku melihat Ustadz Amri melintas. Sebenarnya aku menunggu-nunggu sosok orang itu melintas lagi. Rencananya, akan aku sapa dan melampiaskan rasa ingin tahuku dengan bertanya langsung kepadanya. Rupanya Ustadz Amri melintas duluan.

“Assalaamu Alaikum. Mampir Ustadz…..”

“Walaikum salaam warahmatullah……”

“Ustadz, pemabok itu sudah pulang?” tanyaku sambil melongok kiri kanan menjaga-jaga jangan sampai sosok orang itu melintas.

“Belum tuh. Masih di mesjid.”

“Ustadz, aku mau tanya. Apa betul orang itu pemabok?”

“Wah, jangan tanya deh. Pemabok kelas berat. Kamu cari deh pemabok yang lain, dia itu tingkatannya pasti masih jauh lebih berat.”

“Masak sih? Tapi kok aneh? Dia tidak seperti pemabok lainnya. Kelihatannya dia orangnya sopan. Suaranya saja jarang kedengaran. Sudah begitu, dia shalatnya kelihatan khusyuk sekali, ustadz. Ngajinya juga bagus. Apa dia dalam proses bertobat?”

“Wah, kalo yang namanya bertobat sih, ustadz juga setiap saat dalam proses bertobat. Bahkan kamu pun mestinya begitu. Mana ada dalam setiap detik hidup kita ini di mana kita dijamin bebas dari perbuatan dosa?”

“Betul juga, ustadz. Tapi kok bisa pemabok tapi kelihatan betah di mesjid?”

“Itu dia. Dia itu sebenarnya mabok Allah. Pokoknya setiap saat tidak pernah lepas dari berzikir kepada Allah. Kalau kita-kita ini masih bisa terdistorsi, dia itu lurus, terus dan terus hidupnya hanya didedikasikan untuk Allah.”

Hmmm. Rupanya itu maksud Ustadz Amri. Rupanya selama ini aku terjebak oleh prasangkaku sendiri. Rupanya sosok orang itu jenis pemabok yang lain. Rupanya dia pemabok akhirat.

-----

Dari balik jendela ini terlihat lagi sosok orang itu melintas. Seperti biasa, kelihatannya sudah seperti pakaian dinasnya, atasannya adalah baju koko putih dan bawahannya adalah sarung putih bermotif garis. Kopiahnya adalah kopiah haji. Serba putih.

Sekarang, setelah tahu bahwa sosok orang itu adalah pemabok, pemabok Allah, sudut pandangku jadi berubah drastis. Jantungku berdebar ketika ia melintas. Entah mengapa, hatiku berkata bahwa aku harus cari muka kepada orang ini. Rasanya aku tahu mengapa. Karena ia pemabok Allah. Ia tidak bau alkohol, tapi bau surga (paling tidak, baunya enak bila ia melintas). Aku tahu aku harus dekat-dekat dengan orang ini. Moga-moga aku bisa seperti dia, jadi pemabok juga. Pemabok Allah!

Rabu, 26 Maret 2008

Belum pernah aku bersumpah, tapi kali ini, aku bersumpah!

Langit agak mendung di balik jendelaku siang ini. Sejak pagi pandanganku terhalang oleh turunnya hujan. Belakangan ini cuaca memang tidak tertebak. Pikirku bahwa musim hujan sudah berlalu. Buktinya, sudah hampir sebulan hawa panas oleh matahari terik lebih mendominasi. Tapi kenyataannya cuaca memang tidak terpola lagi. Sudah beberapa hari ini hujan bisa turun tiba-tiba, seakan kompak, panas juga bisa datang tiba-tiba.

Seperti saat aku memandang ke luar jendelaku saat ini. Hujan baru saja berhenti.

Rupanya yang tampak di pemandanganku adalah seorang gadis belia berumur sekitar 11. Namanya Puji. Rambutnya panjang sebahu terurai tidak keruan. Pakaiannya baju terusan yang lazim dipakai anak seusianya dengan motif – tidak jelas bagiku – seperti batik.

Aku bisa melihat Puji sering lalu lalang di sekitar jendelaku. Itu rutin. Ciri khasnya Puji, dia selalu menggendong karung lusuh.

Karung itu memang ada tujuannya. Puji adalah gadis kecil pemulung. Karung itu senjatanya. Di situ dia menampung hasil pungutannya. Kelihatannya dia spesialis pemulung gelas bekas air kemasan.

Hari ini Puji kelihatan gembira. Karungnya gemuk. Rupanya 4 hari belakangan yang merupakan libur berurutan adalah hari bonus bagi Puji.

Asal anda tahu, daerah operasi Puji adalah kawasan wisata pantai. Rupanya kecil-kecil begitu ia punya insting marketing yang cukup mumpuni. Kawasan wisata pantai dipilihnya karena di sini sudah jelas rame pengunjung pada akhir pekan atau hari-hari libur, dan bisa dipastikan mereka pasti banyak minum air apalagi kalau cuaca panas terik. Nah, untuk alasan kepraktisan, orang memang lebih banyak membawa air minum kemasan. Itu dia landasan berpikir Puji.

-----

Suatu hari Puji aku sapa ketika lewat di sekitar jendelaku.

“Ji, dapat banyak hari ini?”

“Wah, dapat banyak, Om! Soalnya lagi ada acara konser”, jawabnya bersemangat.


“Kalo gitu, kamu banyak uang, dong” gangguku.

“Syukur, Om. Hari ini bisa masuk lima belas ribu. Tapi ini juga langsung abis tiga belas ribu.” Jawabnya. Kelihatan dia sedikit kecewa tapi masih tetap semangat.

“Lho, kok bisa begitu?”

“Bayar utang obat, Om! Seminggu lalu adek kena demam, Puji disuruh ummi ngutang obat ke warung dekat rumah. Waktu itu ummi lagi nggak punya, soalnya ummi juga sakit nggak bisa nyuci ke rumah-rumah, trus dari abi belum ada kiriman uang dari Polewali. Kata abi, nyari kertas bekas sekarang agak susah soalnya masih sering turun hujan.”

Mungkin Puji sudah kebal hal-hal begitu. Mungkin itu makanan hariannya. Mungkin Puji kecil usia 11 kuat sekali. Tapi terus terang, aku tidak sekuat itu mendengar ceritanya…

Dalam hati aku kaget, kagum, terlebih lagi, gelisah! Masak Puji yang sekecil itu sudah harus nanggung utang. Utang untuk beli obat lagi.

…………..
…………..
…………..

“Ji, kamu sedih, dong? Duitnya tinggal dua ribu, kan?”

“Lho, kok sedih, Om? Puji kan masih dapat sisa dua ribu itu….Berarti, seperti diajarkan abi, Puji masih dikasih Allah rejeki. Kata abi, rejeki itu harus disyukuri biar kecil-kecil. Puji masih bagusan, Om. Kata abi, dulu waktu abi kecil sering-sering tidak makan. Puji masih beruntung, setiap hari masih bisa makan. Kalau ummi ada yang ngasih beras agak banyak, kadang Puji masih bisa nambah lagi setengah piring. Wah, pokoknya kalau bisa nambah itu, Puji rasanya syukur sekali kepada Allah, Om”

-----

Aku bingung. Di hari langit agak mendung begini, biasanya yang bikin kaget adalah suara petir. Tapi aku terbuka seperti telajang, kata-kata Puji bikin kaget lebih dahsyat daripada petir. Kata-kata Puji ini jelas sekali berkelas. Walaupun aku tahu, Puji bahkan tidak pernah terpikir bagaimana rasanya ‘berkelas sekolah’ itu.

Pemandangan di balik jendelaku ini hanya seorang gadis kecil usia 11. Tapi, entah ini nyata atau ilusi, gadis kecil usia 11, Puji, seperti guru besar yang mengajarkan aku hal yang besar juga.

Belum pernah aku bersumpah, tapi kali ini, aku bersumpah, pengalamanku menyapa Puji dari balik jendelaku hari ini, adalah pengalaman terindah! Itu saja.